yunias19ocean.blogspot.com

Ya'ahowu. Selamat Datang di NdiLo Blog___yunias19ocean.blogspot.com

Rabu, 29 September 2010

PENYULUHAN PERIKANAN DI KAWASAN PANTAI BINASI SORKAM BARAT KABUPATEN TAPANULI TENGAH

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara maritim karena sekitar 70 % wilayahnya adalah laut. Jumlah pulau dengan garis pantai 81.000 km. Dilihat dari posisi geografis wilayah kepulauan Indonesia secara umum memilki kondisi sumberdaya yang sangat besar. Salah satunya sumberdaya tersebut adalah ekosistem terumbu karang yang keberadaanya tersebar di beberapa kawsan perairan pantai wilayah Indonesia. Kurang lebih 14 % terumbu karang dunia berada di perairan Indonesia yang luasnya mencapai 75.000 km¬2 dari seluruh ekosistem yang ada di perairan.
Tapanuli Tengah merupakan salah satu Kabupaten di Sumatera Utara yang mempunya potensi sumberdaya perikanan dan kelautan yang sangat kompleks salah satunya adalah terumbu karang. Salah satu Kecamatan yang terletak di pesisir Tapanuli Tengah adalah Sorkam Barat. Kecamatan ini merupakan kawasan pesisir yang memiliki kawasan ekosistem terumbu karang yang salah satunya terdapat di kawasan pantai Binasi dan sebagian besar penduduk di kawasan tersebut bekerja sebagai nelayan.
Terumbu karang mempunyai peran yang sangat penting dalam ekosistem perairan pesisir, terutama bagi biota laut yang hidupnya saling berasosiasidengan terumbu karang. Terumbu karang berperan sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak, sebagai tempat tinggal (habitat), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi berbaga biota yang hidup di terumbu karang atau sebaliknya.
Meningkatnya jumlah penduduk di sertai aktivitas manusia telah menyebabkan kerusakan ekosistem tersebut, baik terhadap terumbu karang itu sendiri maupun terhadap berbagai jenis biota yang hidup di sekitar terumbu karang. Pada jenis-jenis biota tersebut mempunya nilai ekonomis yang sangat tinggi, dan dapat dimanfaatkan sebagai sumber penghasilan bagi nelayan. Dari hasil penelitian para ahli ekosistem terumbu karang di Indonesia mencapai taraf yang sangat parah, di ketahui kondisi terumbu karang tersebut 70 % kondisinya rusak/sangat rusak, 24 % kondisinya masih baik, 6 % kondisinya sangat baik. Dari data tersebut maka dapat disimpulkan bahwa tingkat degradasi (kerusakan) lingkungan pesisir di Indonesia sudah sangat parah.
Kerusakan ekosistem terumbu karang tersebut dapat di sebabkan oleh pencemaran limbah dan sedimentasi, kerusaan akibat penambangan karang, kerusakan akibat penggunaan alat penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bom ikan, operasi kapal-kapal trawl, dan lain-lain, pengambilan terumbu karang sebagai souvenir dan kerusakan oleh alam. Diantara penyebab tersebut di atas kerusakan sebagian besar di sebabkan oleh penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan dan penambangan karang untuk kebutuhan bangunan.

1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan masalah yang berkaitan dan membahas tentang peranan terumbu karang, penyebab terjadinya kerusakan terumbu karang dan dampak kerusakan terumbu karang tersebut terhadap biota laut dan masyarakat nelayan serta penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan.

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari pelaksanaan penyuluhan perikanan ini adalah sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi penyebab terjadinya kerusakan terumbu karang dan solusi penanggulangannya.
2. Memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya peranan terumbu karang sebagai penunjang ekosistem biota laut.
3. Mengidentifikasi kondisi kerusakan terumbu karang dan dampaknya terhadap tingkat pendapatan nelayan.


II. RENCANA KERJA
2.1 Masalah
Adapun masalah yang diidentifikasi dalam kegiatan penyuluhan perikanan di kawasan pantai Binasi Sorkam Barat adalah sebagai berikut :
1. Pemeliharaan ekosistem terumbu karang
2. Penangkapan ikan tidak ramah lingkungan (PITRAL)

2.2 Kegiatan Dan Tujuan Kegiatan
Adapun kegiatan yang dilaksanakan adalah dengan melakukan kunjungan kepada kelompok nelayan dan kelompok masyarakat di daerah tersebut dan melakukan wawancara (interview) berupa tanya jawab (diskusi). Adapun tujuan dari pada kegiatan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Agar masyarakat mengerti manfaat dan peran daripada terumbu karang untuk kemudian menjaganya, memelihara dan tidak merusaknya.
2. Agar masyarakat melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan alat penangkapan ikan yang ramah lingkungan untuk menghindari rusaknya habitat ikan seperti terumbu karang.

2.3 Metode Dan Lokasi Penyuluhan
Metode yang digunakan dalam pelaksanaan penyuluhan tersebut adalah metode kunjungan kelompok yaitu mengunjungi kelompok-kelompok masyarakat yang tinggal di sekitar di kawasan tersebut terutama para nelayan.
Lokasi penyuluhan di laksanakan di Kawasan Pantai Binasi, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah.


III. PELAKSANAAN
Pelaksanaan kegiatan penyuluhan dilakukan dengan berbagai kegiatan sesuai dengan waktu yang telah direncanakan sebelumnya yaitu antara lain :
1. Waktu : Senin, 11 Mei 2009
Kegiatan : Observasi
Tujuan : Meneliti keadaan terumbu karang di sekitar dan alat penangkpan yang digunakan oleh nelayan di lokasi penyuluhan.

2. Waktu : Rabu, 13 Mei 2009
Kegiatan : Promosi (Pembagian brosur)
Tujuan : Menyadarkan dan membangkitkan minat masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian ekosistem terumbu karang terumbu karang.

3. Waktu : 16 Mei 2009
Kegiatan : Interview
Tujuan : Mengetahui kondisi terumbu karang di daerah tersebut serta peran masyarakat di dalam menjaga dan memeliharanya dan memberikan arahan atau solusi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga kelestarian terumbu karang.


IV. PEMBAHASAN
4.1 Hasil / Pencapaian.
4.1.1 Keadaan Umum Lokasi Penyuluhan
Pantai Binasi yang terletak di Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah merupakan salah satu kawasan wisata yang ramai dikunjungi oleh pengunjung setiap harinnya, sebagian besar pengunjung di kawasan tersebut berasal dari luar daerah, sehingga hal tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat di lingkungan tersebut untuk membuka usaha seperti membuka warung, rumah makan, dan penjualan cendera mata atau souvenir, sehingga kawasan tersebut merupakan penunjang ekonomi masyarakat sekitarnya. Sebagian besar masyarakat di kawasan tersebut bekerja sebagai nelayan penangkap ikan dan yang lainnya berjualan di sekitar pantai.
Di daerah tersebut terdapat lembaga pendidikan seperti Sekolah Dasar (SD) ada 1 (dua) Unit, Sekolah Menengah Pertama (SMP) ada 1 (satu) unit dan juga terdapat lembaga kesehatan berupa 1 (satu) unit Puskesmas Pembantu (Pustu).

4.1.2 Kondisi Terumbu Karang
Kondisi terumbu karang di kawasan Pantai Binasi Sorkam Barat mulai mengalami kerusakan yang sangat perlu di perhatikan. Meningkatnya aktivitas penduduk di sekitar kawasan tersebut berdampak pada keberadaan terumbu karang di kawasan tersebut, baik itu terhadap terumbu karang itu sendiri maupun terhadap biota laut yang bernilai ekonomis yang tinggi dan merupakan sumber pendapatan bagi masyarakat nelayan di kawasan tersebut.
Dari hasil pengamatan langsung di lokasi, ada beberapa hal yang merupakan penyebab utama terjadinya kerusakan terumbu karang di kawasan tersebut yaitu :
1. Penambangan Karang
Sebagian kecil masyarakat di kawasan tersebut bekerja sebagai penambang karang, baik yang berasal dari kawasan itu sendiri maupun dari luar. Penambangan karang dilakukan untuk kebutuhan bahan konstruksi bangunan atau untuk timbunan. Aktivitas ini tampa di sadari masyarakat telah menimbulkan kerusakan pada terumbu karang yang berdampak pada kelangsungan hidup biota laut lainnya yang merupakan sumber penghasilan nelayan.
2. Kapal /Perahu Nelayan
Adanya ketidakberaturan lokasi berlabuh membuat kapal/perahu nelayan berlabuh di sembarangan tempat, sehingga tampa disadari jangkar-jangkar yang dilabuhkan mengenai daerah terumbu karang dan hal tersebut bisa menyebabkan kerusakan pada terumbu karang bahkan bisa berakibat fatal bila hal tersebut tidak di perhatikan dan terjadi secara terus-menerus.
3. Kebutuhan Souvenir
Sebelumnya telah diuraikan bahwa Pantai Binasi merupakan kawasan yang ramai dikunjungi oleh para wisatawan daerah maupun dari luar daerah, hal ini di manfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk membuka usaha berupa penjualan souvenir, dimana souvenir tersebut adalah karang-karang yang didesain sebaik mungkin sehingga menarik minat pembeli. Pengambilan karang sebagai souvenir dapat menyebabkan kerusakan yang sangat fatal bila dilakukan terus menerus oleh masyarakat dikawasan tersebut.

4.1.3 Peran Masyarakat
Meningkatnya aktivitas masyarakat di daerah ini membuat tingkat kebutuhan semakin tinggi dan tentu berdampak bagi ekosistem di sekitarnya seperti terumbu karang.
Berdasarkan hasil tinjauan lapangan (observasi) dan wawancara (interview) dengan berbagai kelompok masyarakat di sekitar Kawasan Pantai Binasi dapat ditarik kesimpulan bahwa pemahaman masyarakat tentang pentingnya peranan terumbu karang masih kurang ditambah lagi dengan faktor kebutuhan yang membuat masyarakat memanfaatkan terumbu karang untuk kebutuhannya tampa memperhatikan kelestarian terumbu karang tersebut. Sehingga peran masyarakat dalam pemeliharaan terumbu karang sangat kurang.
Untuk itu di harapkan melalui kegiatan penyuluhan ini dapat membuka wawasan masyarakat tentang pentingnya memelihara dan menjaga kelestarian terumbu karang untuk kelestarian laut kita kedepan sebab terumbu karang sehat ikan berlimpah.
4.2 Kesimpulan
Dari uraian – uraian sebelumnya, maka dapat disimpulkan :
1. Keadaan terumbu karang di kawasan pantai Binasi Sorkam Barat mulai mengalami kerusakan karena kurang di perhatikan kelestariannya oleh masyarakat sekitar.
2. Penyebab kerusakan terumbu karang di kawasan tersebut di akibatkan oleh adanya kegiatan penambangan karang dan penggunaan alat tangkap yang tidak memperhatikan keberadaan terumbu karang.
3. Tempat berlabuhnya kapal atau perahu nelayan yang tidak memperhatikan tempat melabuhkan jangkar, sehingga melabuhkan jangkar di daerah-daerah di mana terdapat terumbu karang yang menyebabkan kerusakan pada terumbu karang.
4. Masyarakat di kawasan pantai Binasi Sorkam Barat kurang memperhatikan kondisi terumbu karang di daerahnya.

4.3 Rencana Tindak Lanjut
Dari uraian – uraian tersebut di atas maka kedepan perlu di laksanakan kegiatan – kegiatan, sebagai berikut :
1. Penyuluhan tentang pentingnya ekosistem terumbu karang bagi kehidupan biota laut dan peningkatan pendapatan nelayan serta tentang penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan.
2. Perlu adanya penerapan kebijakan tentang larangan melakukan penambangan karang oleh pemerintah.
3. Dibuatnya aturan atau kebijakan yang mengatur tempat atau lokasi yang khusus sebagai tempat berlabuhnya kapal / perahu nelayan.
4. Pemerintah hendaknya memberikan pelatihan mata pencaharian alternatif dan modal usaha bagi masyarakat khususnya kepada para penambang karang sehingga dapat membuka usaha lain dan tidak menambang karang.


V. PENUTUP

Dari hasil penelitian, terumbu karang di Indonesia mengalami kerusakan yang sangat parah, di peroleh data terakhir bahwa keadaan terumbu karang kita 70 % mengalami kondisi yang rusak/sangat rusak, 24 % kondisinya baik dan hanya 6 % yang kondisinya sangat baik. Hal ini tidak lain karena akibat dari aktivitas manusia yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungannya, terlebih aktivitas di wilayah pesisir semakin meningkat dan berdampak bagi ekosistem di sekitarnya.
Kawasan Pantai Binasi Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah merupakan salah satu dari daerah-daerah di Indonesia yang juga mengalami kerusakan terumbu karag yang sama, yang tidak lain disebabkan oleh ulah manusia. penambangan karang, kapal-kapal dan perahu nelayan yang berlabuh di sembarangan tempat dan pengambilan terumbu karang untuk souvenir merupakan penyebab utama terjadinya kerusakan terumbu karang di kawasan ini. Dan hal ini terjadi karena desakan faktor kebutuhan dan kurangnya pemahaman masyarakat di daerah tersebut tentang pentingnnya terumbu karang.
Untuk itu dengan diadakanya penyuluhan ini diharapkan dapat membuka wawasan masyarakat tentang pentingnya menjaga dan memelihara terumbu karang sebagai ekosistem yang sangat penting bagi kehidupan biota laut dan mempunyai dampak bagi masyarakat itu sendiri. Dan diharapkan juga kepada Pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang yang menyangkut tentang larangan pengerusakan terumbu karang sehingga ekosistem terumbu karang tersebut dapat terlindung dari ulah manusia yang tidak bertanggung jawab.

ANALISIS DAMPAK KREDIT PERIKANAN DI INDONESIA




ANALISIS DAMPAK KREDIT PERIKANAN
DI INDONESIA.
Oleh :
Yunias Dao

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang.
Pembangunan sektor perikanan, khususnya di Indonesia, boleh dikatakan mengahadapi situasi dramatikal. Di satu sisi sering dikatakan bahwa potensi perikanan dan kelautan kita cukup melimpah, tetapi di sisi lain keadaan tersebut tidak tercermin dari kondisi para pelaku utama perikanan kita. Hampir sebagian besar penduduk dapat dikategorikan sebagai penduduk miskin, bahkan di beberapa daerah kehidupan mereka masih di bawah upah minimum regional (UPR) yang di tetapkan pemerintah. Kondisi diametrikal itu juga dapat dilihat dari masih minimnya minat pelaku usaha untuk berinvestasi di sektor tersebut serta konstribusi sektor ini terhadap PDB masih sekitar 2% per tahun.
Bagaimanapun harus diakui bahwa kinerja pembanguan perikanan Indonesia mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Indikator kemajuan tersebut dapat dilihat dari semakin meningkatnya kontribusi sektor perikanan terhadap ekonomi nasional secara keseluruhan. Meskipun dari sisi proporsi GDP konstribusi perikanan masih relatif kecil, namun sektor ini telah memberikan sumbangan devisa yang cukup berarti bagi ekonomi Indonesia melalui ekspor produk perikanan seperti udang dan tuna serta ikan-ikan ornamental. Kontribusi ekspor itu telah mencapai 565.739 ton dengan nilai lebih dari US$ 1,6 juta (DKP, 2005), suatu peningkatan lebih dar 700 kali lipat sejak pelita pertama dicanangkan. Selain itu, sumberdaya perikanan dan kelautan merupakan elemen yang ensensial bagi hampir 60 % penduduk Indonesia yang kebanyakan tinggal di wilayah pesisir dimana 80 % dari penduduk wilayah pesisir bekerja di sektor perikanan (Fauzi, 2005).
Berubahnya landskap politk di Indonesia, yang di tandai dengan munculnya era reformasi, khususnya telah memicu perubahan orientasi pembangunan dibidang perikanan. Pembangunan selama orde baru yang lebih berorientasi pada pembangunan pertanian tanaman pangan, khususnya beras, secara tidak langsung membuat sektor perikanan kurang banyak berperan. Dengan lahirnya momentum reformasi tersebut, pemerintah kini mulai mencurahkan perhatiannya untuk mengembangkan sektor perikanan mejadi sektor unggulan yang justru akan menjadi prime mover ekonomi, khususnya di wilayah-wilayah pesisir.
Disadari atau tidak, pengembangan sektor perikanan sampai saat ini masih menghadapi berbagai kendala. Kendala-kendala tersebut muncul baik dari sisi sumber daya perikanan itu sendiri yang bersifat fugitive dan cenderung ke arah open access, maupun kendala dari pengembanagan skala ekonomi yang ditandai dengan lemahnya kapital di bidang perikanan dan sedikitnya investasi di bidang tersebut.
Permodalan yang lemah membuat para pelaku utama kesulitan untuk mengembangkan usaha, namun tak dapat di pungkiri bahwa pemberian modal oleh pemerintah dalam bentuk kredit (subsidi) jika tidak di pertimbangkan secara efisien juga akan memicu overcapacity yang berwujud pada penurunan manfaat atau sumber daya perikanan.

2. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Mengetahui lebih jelas tentang peranan kredit perikanan terhadap perkembangan perikanan di Indonesia
2. Menganalisis dampak kredit perikanan terhadap perkembangan perikanan di Indonesia.


PEMBAHASAN
1. Analisis Kebijakan Kredit Perikanan.
Dari uraian di atas terlihat bahwa ada dualisme fenomena dalam industri perikanan di Indonesia. Disatu sisi, sumber daya perikanan khususnya perikanan laut, cukup potensial untuk dikembangkan (paling tidak ditinjau dari aspek cakupan luas wilayah), disisi lain sumber daya tersebut masih belum bermanfaat besar bagi para pihak yang terlibat di dalamnya, seperti nelayan dan masyarakat pesisir.
Analisis sepintas menunjukan bahwa paling tidak terdapat dua faktor umum yang menjadi sandungan bagi pengembangan perikanan di luar konteks sumber daya alam itu sendiri. Yang pertama adalah faktor struktural, berupa hambatan kelembagaan bagi nelayan untuk melakukan mobilitas vertikal. Hal itu terlihat dari kelembagaan pemasaran maupun kelembagaan usaha produksi yang kurang kondusif baik nelayan untuk berkembang. Kedua adalah faktor teknis yang terkait dengan lemahnya permodalan yang menyebabkan kurangnya atau rendahnya produktivitas dan pendapatan nelayan.
Memahami kedua kendala di atas, untuk mengatasinya, pemerintah Indonesia sejak awal Pelita petama telah melakukan kebijakan publik dengan memberikan bantuan kredit (subsidi). Salah satu program kredit yang menyentuh langsung bidang perikanan adalah KIK/KMKP (Kredit Investasi Kecil/Kredit Modal Kerja Permanen) yang merupakan kredit jangka menengah dan jangka panjang untuk keperluan rehabilitasi, modrenisasi dan perluasan proyek. Meskipun sebenarnya KIK/KMKP merupakan kredit yang diarahkan untuk sektor di luar pertanian, namun BRI mengembangkan KK/KMKP massal untuk perikanan sejalan dengan Undang-undang Republik Indonesia No.21/1968.
Selain skim kredit KIK/KMKP, pemerintah melalui Departemen Koperasi dan lembaga keuangan terkait telah mengembangkan berbagai skim kredit. Dalam upaya mengentaskan kemiskinan, pemerintah telah mengeluarkan berbagai skim kredit untuk rakyat.
Selain bersumber dari dana dari dalam negeri, pemerintah Indonesia melalui bantuan lembaga keuangan dari lembaga-lembaga asing seperti ADB (Asian Development Bank) misalnya, melakukan program RIGP (Rural Income Generating Project) yang di tujukan untuk mengembangkan dan memberdayakan masyarakat pedesaan khususnya sehubungan dengn aspek finansial, besarnya kredit perikanan yang disebar sampai sekarang ini masih belum jelas.

2. Analisis Dampak Kredit Perikanan
Pemberian kredit adalah salah satu kebijakan publik berupa subsidi yang dalam defenisi World Trade Center (WTC) merupakan kontribusi finansial pemerintah dalam bentuk Fund transfer maupun pelayanan umum (pembangunan infrastruktur). Dalam kaitanya dengan sektor perikanan, subsidi dalam bentuk kredit memang telah lama menjadi bahan perdebatan mengingat implikasinya terhadap sumber daya perikanan itu sendiri. Dokumen Bank Dunia yang ditulis secara jelas oleh Milazzo (1998) menunjukan bahwa secara global subsidi yang di berikan kepada perikanan, baik dalam bentuk skim kredit maupun grant, mencapai antara US$ 14 hingga 20 milyar yang setara dengan 17 % sampai 25 % total penerimaan dari perikanan. Secara keseluruhan subsidi sebesar itu telah menyebabkan terjadinya overcapacity di bidangang perikanan. Arnasson dalam Fauzi (2005) lebih jauh mengatakan subsidi yang di berikan pada perikanan yang nota bene merupakan sunber daya yang bersifat common property justru hanya akan menimbulkan economic waste.
Perikanan Indonesia hendaknya belajar dari pengalaman negara-negara lain agar program kredit yang di berikan kepada nelayan bisa lebih berdaya guna dan berhasil guna. Keberpihakan pemerintah dalam kredit perikanan hendaknya tidak dilhat dari besarnya kredit yang di berikan maupun program kredit diluncurkan, tetapi dilihat secara menyeluruh, misalnya dalam pola subsidi yang lain, misalnya subsidi harga yang dampak distortifnya secara ekonomi relatif lebih kecil.
Demikian juga dengan pengembangan dan pembangunan sarana (infrastruktur) perikanan yang bersifat off-farm seharusnya dilihat sebagai upaya keberpihakan pemerintah dalam pembangunan perikanan yang juga termasuk subsidi sebagaimana yang didefenisikan WTO. Dalam kaitan di atas, pemerintah hendaknya menciptakan program-program yang bersifat pengembangan ekonomi lokal sehingga kebutuhan subsidi dalam bentuk kredit akan minimal.
Kalaupun subsidi masih akan diberikan dalam bentuk kredit, ada beberapa hal yang perlu dijadikan sebagai bahan pertimbangan (Fauzi, 2005). Pertama, diperlukan kehati-hatian dalam menggunakan asumsi produksi perikanan sebagai basis perhitungan potensi ekonomi yang bisa dihasilkan. Satu hal yang patut dicatat adalah, data produksi sebesar 4,5 juta ton belum memperhitungkan tangkap untuk subsistem, tangkap yang tidak dilaporkan (unreported), yang terbuang (by catch) dan tangkap akibat illegal fishing. Jika keempat faktor tersebut diperhitungkan, maka tak ayal produksi perikanan kita sudah melewati titik yang di klaim sebagai titik potensi maksimum lestari (6,4 juta ton). Artinya, dalam situasi seperti ini, potensi economic rent yang mungkin di-generate akan sangat minimal kalau tidak di sebut negatif. Maka dalam situasi seperti ini, perlukah memberikan kredit modal kerja kepada nelayan ?, untuk menjawab hal ini, melihat kondisi sumber daya perikanan yang bervariasi secara geografis tentunya kita tidak bisa pukul rata. Potensi pemberian kredit bisa dan feasible di lakukan pada wilayah-wilayah yang sumber dayanya masih potensial untuk di kembangkan.
Kedua, dalam menghitung potensi ekonomi, kaitanya dengan produk perikanan, tidak boleh mengabaikan cost of fishing yang terus meingkat sepanjang waktu. Selain itu, produksin perikanan sangat fluktuatif dan sangat elastis. Dalam kaitanya dengan hal ini, perhitungan nilai ekonomi harus dibuat disagegatif dengan memisahkan mana produksi yang high value-low volume dan mana yang high volume-low value. Pemisahan itu juga perlu dilakukan untuk berbagai jenis ikan antara pelagis besar, pelagis kecil, ikan-ikan demersal, molusca dan chepalopoda. Semua jenis ini memiliki pangsa pasar yang berbeda dengan karateristik suplai yang berbeda pula. Dengan segmentasi ini, akan menjadi lebih muda untuk memperhitungkan produk mana yang relatif stabil di pasar sehingga lembaga keuangan akan merasa safe dalam menyalurkan kredit. Karena, bagaimanapun juga lembaga keuangan tidak ingin merugi, dan kredit tidak bisa disalurkan secara pukul rata.
Ketiga, berhubungan dengan asumsi potensi investasi pengolahan ikan. Menurut Fauzi (2005) secara detail pernah menghitung aspek sumber daya dari demand terhadap fishmeal di Indonesia. Dari hasil perhitungan terlihat bahwa dengan kondisi saat ini, kita akan terus mengimpor bahan baku tepung ikan, karena minimnya suplai bahan baku di dalam negeri. Kenapa ? karena sebagian besar produksi perikanan kita digunakan untuk kosumsi, bahkan inipun masih belum mencukupi jika dilihat dari penduduk Indonesia yang harus mengosumsi ikan. Selain itu, fluktuasi produksi menyebabkan kontinuitas suplai bahan baku juga sulit di pertahankan. Jadi, terlalu sederhana dan naif jika 60 % hasil tangkapan ikan digunakan untuk pascapanen. Kebutuhan minimum pabrik tepung ikan sebesar 250.000 ton per tahun saja sulit dipenuhi. Menurut Fauzi (2005) investasi di pengolahan ikan sangat memungkinkan. namun investasi atau kredit di bidang ini seharusnya lebih di arahkan pada perbaikan teknologi agar memberikan nilai tambah bagi industri pengolahan ikan, misalnya tepung ikan.
Satu hal yang sangat kursial dalam kajian kredit di sektor kelautan adalah dalam kaitanya dengan sumber daya kelautan, khususnya perikanan, yang lebih bersifat quasi open access. Situasi ini tentu saja sangat jauh berbeda dari sektor pertanian atau industri yang hak kepemilikinnya cukup jelas. Dalam situasi yang quasi open access, discon rate untuk stream benefit di masa mendatang sangat tinggi akibat eksernalitas yang di timbulkan oleh sifat quasi open access tersebut. Akibatnya, para pelaku perikanan cenderung untuk mendapatkan tangkapan sebanyak-banyaknya pada saat ini di banding saat mendatang. Akibatnya, timbul thinning out stock effect (stok yang menipis) di masa mendatang yang pada giliranya menurunnya manfaat.
Menyangkut kredit perikanan, isu ini memang sudah menjadi bahan perebatan, subsidi sering di anggap sebagai penyebab terjadinya overcapacity di industri perikanan yang memicu krisis perikanan global sebagaimana disebutkan sebelumnya. Saat ini, kapasitas perikanan global sudah mencapai 250 % dari yang dibutuhkan untuk mencapai perikanan yang berkelanjutan. Subsidi juga dianggap sebagai faktor yang dapat mendistorsi perdagangan. Laporan dari berbagai sumber resmi seperti APEC, OECD dan WTO, memperkirakan bahwa subsidi perikanan sudah mencapai US$ 15 hingga US$ 20 miliar per tahun. Kondisi telah menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan masyarakat pesisir seperti kemiskinan dan degradasi sumber daya yang pada giliranya menyebabkan pengangguran.
Subsidi perikanan yang dilakukan oleh negara-negara maju menjadi tidak fair berkaitan ekstraksi sumber daya, karena armada perikanan negara berkembang harus bersaing dengan armada perikanan yang memperoleh subsidi. Oleh karena itu, WTO menginginkan agar subsidi perikanan dikurangi (phasing out).
Bagi negara berkembang seperti Indonesia, hal itupun harus dicermati karena kemiskinan di wilayah pesisir tidak mungkin dituntaskan tampa pertumbuhan ekonomi yang baik. Sementara itu, pada tahap dimana industri perikanan belum berkembang, subsidi dibutuhkan untuk menstimulus pertumbuhan industri tersebut. Dengan demikian pilihan yang di hadapi Indonesia ditengah gejolak ekonomi saat ini cukup sulit dilakukan. Untuk itulah dibutuhkan pemetaan cermat sehubungan dengan kebijakan subsidi perikanan itu sehingga disatu pihak tidak menimbulkan distorsi sebagaimana di khawatirkan WTO, dan pihak lain dapat mengangkat pertumbuhan usaha skala kecil sampai dimana subsidi bisa dikurangi atau dihilangkan.

PENUTUP
Tidak dipungkiri bahwa memang peluang investasi swasta dan lembaga keuangan dalam sektor kelautan cukup besar. Namun demikian, investasi ini harus dilakukan secara selekif dan mengikuti kaidah-kaidah ekonomi sumber daya karena potensi perikanan memang sangat unik. Dengan demikian, permasalahan permodalan yang timbul di sektor kelautan dapat diatasi tampa menimbulkan masalah baru yang justru mendorong munculnya biaya sosial dan biaya transaksi (transaction cost) yang lebih tinggi.
Sektor kelautan yang sehat dan economically viable bukan tidak mungkin dicapai jika langkah-lngkah strategis kearah tersebut dilakukan secara tepat dan hati-hati. Kerjasama pihak lembaga keuangan seperti perbankan dengan pelaku dan akademisi untuk mencari format yang tepat bag sektor kelautan sangat diperlukan untuk membawa sektor ini sebagai kekuatan ekonomi indonesia yang unggul sebagaimana yang diinginkan.
Bagi negara berkembang seperti Indonesia, hal itupun harus dicermati karena kemiskinan di wilayah pesisir tidak mungkin dituntaskan tampa pertumbuhan ekonomi yang baik. Sementara itu, pada tahap dimana industri perikanan belum berkembang, subsidi dibutuhkan untuk menstimulus pertumbuhan industri tersebut. Dengan demikian pilihan yang di hadapi Indonesia ditengah gejolak ekonomi saat ini cukup sulit dilakukan. Untuk itulah dibutuhkan pemetaan cermat sehubungan dengan kebijakan subsidi perikanan itu sehingga disatu pihak tidak menimbulkan distorsi sebagaimana di khawatirkan WTO, dan pihak lain dapat mengangkat pertumbuhan usaha skala kecil sampai dimana subsidi bisa dikurangi atau dihilangkan.

Teknik Budidaya Rumput Laut Eucheuma Sp. Oleh : Yunias Dao





PENDAHULUAN
Latar Belakang.
Rumput laut merupakan salah satu komoditas laut mudah dibudidayakan dengan biaya yang relatif murah dan memilki nilai ekonomis sebagai bahan pangan, bahan baku industri obat – obatan, tekstil, kosmetik, dan lainya. Rumput laut tergolong tanaman berderajat rendah, umumnya melekat pada substrat tertentu, tidak mempunyai akar dan daun sejati, tetapi hanya menyerupai batang yang disebut dengan thallus.
Indonesia pada saat ini membutuhkan pasokan produksi rumput laut kering yang cukup tinggi untuk kebutuhan ekspor dan bahan baku industri dalam negeri. Seiring ddengan menguatnya gerakan kembali kea lam ( Back to nature ), pemanfaatan rumput laut kian dimaksimalkan dan mempunyai peluang besar untuk di optimalkan dalam pengembangan rumput laut secara terpadu.
Beberapa jenis rumput laut yang ada di Indonesia dan bernilai ekonomis seperti eucheuma sp., Gracilaria Sp., Gelidium Sp., dan Hypnea Sp. Salah satu dari jenis – jenis rumput laut diatas yang sedang diminati untuk dibudidayakan adalah eucheuma Sp. jenis ni menghasilkan karaginan ( Carragenophyte ) sebagai bahan baku dalam usaha industri makanan, farmasi, kosmetik dan lain sebagainya.
Walaupun prospek bisnis rumput laut begitu cerah tetapi dalam upaya pengembanganya masih banyak kendala yang di hadapi menyangkut teknik budidaya, ketersediaan bibit yang berkualitas, disamping itu juga adanya faktor perubahan kondisi perairan dan musim yang sangat mempengaruhi kualitas rumput laut yang di hasilkan. Selain itu di bagian pengolahan, faktor pengetahuan tentang pentingnya kulitas rumput laut menjadi kendala utama.

Tujuan.
Adapun tujuan dari pada penulisan makalah ini yaitu :
1. Untuk mengetahui lebih dalam tentang teknik budidaya rumput laut.
2. Untuk mengetahui kendala – kendala dalam budidaya rumput laut
3. Sebagaiinformasi bagi petani atau pengusaha yang ingin membuka usaha di bidang budidaya rumput laut jenis Eucheuma sp.

Klasifikasi Dan Morfologi Eucheuma sp.
Secara taksonomi rumput laut, rumput laut di kelompokan ke dalam Divisio Thallophyta. Berdasarkan kandungan pigmenya, rumput laut di kelompokan menjadi 4 ( empat ) kelas (Othmer, 1968 ; Anonim, 1977 ) yaitu sebagai berikut .
1) Rhodophyceae ( Ganggang merah )
2) Phaeophyceae ( Ganggang cokelat )
3) Cholorophyceae ( Ganggang hijau )
4) Cyanophyceae ( Ganggang biru-hijau )

sedangkan taksonomi eucheuma sp. adalah sebagai berikut.
Divisio : Rhodophyta
Kelas : Rhodophyceae
Bangsa : Gigartinales
Suku : Solierisceae
Marga : Eucheuma
Jenis : Eucheuma Spinosium ( Eucheuma Denticalitum )
Eucheuma Cottonii ( Kappaphycus Alvarezii )

Bentuk tubuh dari pada Eucheuma Sp. yaitu thallus berbentuk silindris; permukaan licin; thallusnya bersifat Cartilageneus ( menyerupai tulan rawan / muda ); percabangan thallus berujung runcing atau tumpul, sekitar percabangan ditumbuhi nodulus ( tonjol-tonjolan ), dan duri lunak / tumpul untuk melindungi gametangia; serta berwarna hijau terang, hijau olive, dan coklat kemerahan. Percabangan bersifat alternates ( berselang seling ), tidak teratur, serta dapat bersifat Dichotomous ( percabangan dua-dua ) trichotomous ( sistem percabangan tiga-tiga ).

Habitat Eucheuma Sp.
Rumput laut Eucheuma Sp. memerlukan sinar matahari untuk berfoto sintesis. Oleh karena itu rumput laut jenis ini hidup pada lapisan fotik, yaitu kedalaman sejauh inar matahari masih dapat mencapinya. Di alam, jenis ini biasanya berkumpul dalam suatu komunitas atauu koloni dan indicator jenisnya ( species indicator ) antara lain jenis-jenis Caulerpa, Hypnea, Turbinaria, Gracilaria, dan Gelidium. Jenis ini hidup di rataan terumbu karang dangkal sampai pada kedalaman 6 meter, melekat di batu karang, cangkang, kerang, dan benda keras lainya sebagai tempat menempel atau substrat. Faktor yang pling berpengaruh pada pertumbuhan jenis ini adalah cukup arus dengan salinitas ( kadar garam ) yang stabil, yaitu sekitar 28 - 35 ppt. Oleh karenanya, rumput laut jenis ini akan hidup baik bila jauh dari sumber air tawar, jenis ini paling diminati untuk dibudidayakan dengan menggunakan metode rawai ( Long line method ).

Hama Dan Penyakit.
Kendala yang cukup berarti dalam budidaya rumput laut adala masalah hama dan penyakit yang dapat menyebabkan penurunan produksi dan kerusakan yang cukup tinggi dalam usaha budidaya sehingga mengakibatkan kerugian.

Hama dapat berupa serangan ikan ( herbivora ), penyu, atau predator lainya yang bersifat pemakan tumbuhan. Predator ini tidaj hanya merusak tanaman rumput laut tapi juga konstruksi budidaya. Pada umumnya, tanaman yang di serang
adalah tanaman yang berada dekat perairan dengan dasar terumbu karang atau karang berpasir di sekitar pantai.
Penyakit pada rumput laut merupakan suatu gejala gangguan fungsi atau terjadinya perubahan fisiologi pada tanaman. Pada umumnya, hal ini terjadi akibat adanya perubahan faktor lingkingan yang ekstrem, seperti perubahan nutrisi, temperratir, salinitas, pH dan tingkat kecerahan air. Penyakit yang sangat umum terjadi yaitu penyakit ice-ice yang ditandai dengan perubahan warna pada beberapa bagian thallus menjadi pucat dan bercak putih yang kemudiian meluas pada keseluruan thallus. Pada bagian berwarna putih tersebut thallus akan menbusuk kemudian mati.


TEKNIK BUDIDAYA
1. Pemilihan Lokasi.
Salah satu faktor keberhasilan suatu usaha budidaya adalah pemilihan lokasi, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penentuan lokasi budidaya yaitu sebagai berikut.

1. Faktor Utama
a) Faktor Resiko :
a. Lokasi terlindung
b. Lokasi aman dari gangguan pencurian dan sabotase
c. Konflik kepentingan dan,
d. Tidak pada jalur pelayaran.
b) Faktor Kemudahan :
a. Sarana transportasi
b. Sarana budidaya
c. Pemasaran hasil panen dan,
d. Tenaga kerja dari daerah sekitar.
c) Faktor Ekologi :
a. Aliran arus yang baik ( 20-40 cm/detik ).
b. Dasar perairan ( pecahan karang, pasir kasar ).
c. Kedalaman air berkisar 30-60 cm pada waktu surut.
d. Salinitas 28-35 ppt.
e. Kecerahan air ideal 1 meter.
f. Terhindar dari limbah pencemaran.
g. Suhu air 26-30’C.
h. pH 7,3-8,2.
i. Jauh dari sumber air tawar.
j. Bibit mudah di dapatkan.

2. Faktor Pendukung.
a. Musim, pada kendala ini budidaya rumput laut di arahkan pada upaya mempertahankan bibit, tidak mengharapkan panen produksi.
b. Manajemen, Pemilik budidaya berperan ganda sebagai manejer atau petani. perlu diperhatikan banyaknya tanaman yang mampu dikelola petani, jika mengeloa melebihi kebiasaan akan berdampak negative dan tidak efektif.
c. Tata Letak, Dalam menempatkan tanaman harus di perhatikan arah arus yang dominan dilokasi budidaya, terlindung dari gelombang / ombak yang besar serta jauh darri sumber air tawar seperti muara sungai atau aliran mata air tawar dari darat.

2. Persiapan Penanaman.
Persiapan penanaman rumput laut meliputi penyediaan peralatan dan bahan budidaya yang dibutuhkan sesuai dengan metode budidaya yang akan digunakan seperti patok, tali ris, tali utama, jangkar, pelampung, bibit rumput lauut dan berbagai peralatan atau bahan lain yang di butuhkan dalam kegiatan penanaman tersebut.

3. Pemilihan Bibit.
Bibit yang akan digunakan dalam budidaya rumput laut harus berkualitas baik agar tanaman dapat tumbuh sehat. Oleh karena itu perlu di perhatikan kriteria bibit yang baik sebagai berikut.
1. Bibit yang di gunakan merupakan thallus muda yang bercabang banyak, rimbun, dan berujung runcing.
2. Bibit tanaman harus sehat dan tidak terdapat bercak, luka, atau terkelupas sebagai gejala atau akibat dari penyakit ice-ice atau terkena bahan cemaran seperti minyak.
3. Bibit rumput laut harus terlihat segar dan berwarna cerah.
4. Bibit harus seragam dan tidak bercampur dengan jenis yang lainnya.
5. Berat bibit awal di upayakan seragam, sekitar 100 g per ikatan/rumpun.


4. Metode Penanaman .
Secara umum dikenal beberapa macam cara atau metode penanaman rumput laut berdasarkan posisi tanaman terhadap dasar perairan yaitu antara lain sebagai berikut.

1. Metode Dasar.
Penanaman dengan metode ini dilakukan dengan mengikat bibit tanaman rumput laut pada batu karang atau pemberat yang sesuai untuk kemudian di sebar ke dasar perairan.
Keuntungan dari pada metoe ini tidak membutuhkan biaya besar, penanaman mudah di lakukan dan tidak membutuhkan kegiatan pemeliharaan yang rumit. Adapun kelemahan daripada metode ini yaitu hasilnya kurang baik dan tanaman akan mudah terserang predator seperti bulu babi dan yang lainya selain itu tanaman akan mudah hilang terbawa arus.

2. Metode Lepas Dasar ( Off bottom method ).
Metode ini menggunakan patok dari bambu atau kayu yang di tancapkan pada lokasi budidaya dan tali-tali dibentangkan antara patok tersebut. Adapun tahapan penanaman dengan menggunakan metode ini adalah sebagai berikut.
 Beberapa potong thallus seberat kira – kira 100 gram diikatkan pada tali ris dengan jarak antara bibit tanaman adalah 25 cm.
 Sementara itu dilokasi budidaya di tancapkan barisan patok yang terbuat dari kayu atau bambu sedalam kira – kira 0,5 meter. Jarak tiap patok dalam barisan adalah 0,5 meter, sedangkan jarak antar patok dalam barisan adalah 2,5 meter.
 Patok – patok yang terdapat dalam satu barisan di hubungkan dengan tali ris utama.
 Tal iris yang berisi bibit tanaman, masing – masing di rentangkan di lokasi budidaya , kemudian diikatkan pada tali ris utama.


3. Metode Rakit Apung ( Floating rack method ).
Metode ini menggunakan bambu atau kayu sebagai media apung, metode cocok ini pada daerah dengan kedalaman waktu surut lebih dari 1 meter. Adapun tahapan teknik budidaya dengan metode ini adalah sebagai berikut.
 Potongan bambu dan kayu dirangkaikan dan diikatkan seperti tampak pasa gambar. Selanjutnya di beri pemberat dengan cara jangkar diikatkan pada rakit dengn bantuan tali ris berdiameter 12 mm.
 sementara itu tanaman/bibit rumput laut yang telah diikat pada tali ris dengan berat bibit 100 gram dan jarak antara tanaman 25 cm.
 Akhirnya tali ris yang sudah berisi tanaman diikatkan pada rakit. Pengikatan ini dapat dilakukan di darat atau dapat juga di lakukan di lokasi budidaya.
 Tambahkan pelampung jika perlu.

4. Metode Rawai ( Long line method ).
Metode rawai merupakan cara yang paling banyak diminati petani rumput laut karena di samping fleksibel dalam pemlihan lokasi, juga biaya yang di keluarkan lebih murah. adapun teknik budidaya rumput laut Eucheuma sp. dengan metode ini adalah sebagai berikut.
 Ikat bibit rumput laut pada tali ris dengan jarak antar bibit 25 cm dan panjang tali ris mencapai 50 – 75 cm atau sesuai keinginan petani rumput laut.
 Ikatkan jangkar pada kedua tali utama yang di bawahnya sudah diikatkan pada jangkar, batu karang atau pemberat.
 Untuk mengapungkan rumput laut ikatkan pelampung dari Styrofoam,atau dari botol plastik atau jika ada pelampung khusus, upayakan jarak bibit dengan permukaan laut berkisar 10 – 15 cm, dengan penetapan posisi pelampung yang tepat.
 Pada satu bentangkan tali ris utama dapat diikatkan beberapa tali ris dengan jarak antara tali ris 1 meter. Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi beradunya tali ris akibat ombak atau arus laut.


5. Pemeliharaan.
Memelihara rumput laut berarti mengawasi perkembangan rumput laut secara terus menerus dan juga keadaan konstruksinya. Ada beberapa hal yang harus dilakukan dalam kegiatan pemeliharaan yaitu sebagai berikut.
 Menyisipi tanaman yang hilang dalam setiap ikatan.
 Bersihkan tanaman serta tali tanaman dan konstruksi dari kotoran lumpur atau tumbuhan dan hewan pengganggu yang melekat.
 Ganti konstruksi yang sudah lapuk, rusak atau patah.
 Kuatkan atau ganti tali tanaman atau tali ris yang lepas atau longgar.
 Mengganti tanaman yang membusuk, rusak atau terkena ice-ice.


6. Penanganan Panen Dan Pasca Panen.
Akhir dari suatu kegiatan budidaya adalah panen dan pasca panen. Pada saat inilah, akan di ketahui baik buruknya kualitas dan kuantitas rumput laut yang di budidayakan . Kualitas dan kuantitas produksi rumput laut akan baik jika telah dipersiapkan lokasi yang benar, pemilihan bibit yang baik, metode penanaman yang tepat, dan pemeliharaan yang benar.

1. Panen.
Selain teknik budidaya, keberhasilan budidaya rumput laut juga di tentukan oleh teknik pemanenan, penanganan pasca panen, umur tanaman dan cuaca pada saat pemanenan. Untuk pengenmbangan bibit rumput laut dapat di panen pada umur 21 – 25 hari, sedangkan untuk produksi dapat dipanen pada umur 6 – 8 minggu. Adapun tahapan cara pemanenan adalah sebagai berikut.
 Bersihkan rumput laut sebelum dipanen.
 Lepaskan tali ris yang berisi tanaman rumput laut yang dipanen dari tali utama.
 Bawa rumput laut ke daratan, lepaskan rumput laut dari tali ris an petik thallus muda untuk di jadikan bibit pada penanaman berikutnya.


2. Penanganan Pasca Panen
Penanganan pasca panen merupakan kegiatan atau proses yang di mulai sejak tanaman dipanen, yaitu meliputi penyucian, pengeringan, sortasi, pengepakan dan penyimpanan.

1. Pencucian.
Rumput laut di cuci dengan air laut sebelum diangkat ke darat, dari kotoran – kotoran yang menempel juga dari tanaman – tanaman lain yang menempel atau tercampur pada tanaman rumput laut Eucheuma sp.

2. Pengeringan / Penjemuran.
Rumput laut yang telah dibersihkan kemudian dikeringkan dengan cara dijemur di atas para-para bambu, atau di atas plastik, terpal atau jaring sehingga tidak terkontaminasi dengan tanah atau pasir. Pada kondisi panas terik matahari baik, rumput laut akan kering dalam waktu 2 – 3 hari.

3. Pembersihan Kotoran / Garam ( sortasi ).
Pada saat rumput laut di keringkan akan terjadi penguapan air laut dari rumput laut yang membentuk butiran garam yang melekat di permukaan thallusnya. Butiran garam tersebut perlu dibuang dengan mengayak atau mengaduk – aduk ruumput laut kering sehingga butiran garam turun.

4. Pengepakan Dan Penyimpanan.
Rumput laut yang sudah bersih dimasukan ke dalam karung plastik besar kemudian dipadatkan dengan cara di pres. Kemudian rumput laut tersebut di simpan dalam gudang dengan siklus udara yang baik, atap gudang tidak boleh bocor dan tiap tumpukan diusahakan di beri alas agar tidak lembab.

DAMPAK GLOBALISASI TERHADAP PERIKANAN DI INDONESIA

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sekarang ini pembicaraan tentang globalisasis semakin marak di bicarakan oleh berbagai kalangan, sebenarnya ada apa dengan globalisasi sehingga pengaruhnya begitu marak di bicarakan dan diekspos oleh berbagai media masa? Globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antar bangsa dan antar manusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya popular, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas – batas negara menjadi bias.
Di sisi lain ada yang memandang globalisasi sebagai proyek yang di usung negara-negara adikuasa, sehinga bisa saja memilki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah sebuah kapitalisme dalam bentuknya yang paling mutakhir. Negara – negara yang kuat dan kaya, praktis akan mengendalikan ekonomi dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing . sebab globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia.
Globalisasi mempengaruhi hampir semua aspek yang ada dalam kehidupan masyarakat, termasuk bidang perikanan yang sekarang ini sedang dalam tahap pengembangan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi, namun tidak lepas dari kendala akibat dari perkembangan globalisasi, yang tidak hanya membawa dampak positif tapi juga membawa dampak negatif bagi kemajuan perikanan di indonesia.
Pertambahan jumlah penduduk dan meningkatnya hubungan antar negara di dunia, terutama di negara-negara sedang berkembang seperti indonesia tidak hanya membuat lahan daratan semakin sempit, tetapi juga mendorong peningkatan jumlah kebutuhan hidup antara lain membutuhkan pangan hewani seperti ikan. Laju peningkatan kebutuhan ikan di pacu juga oleh peningkatan tingkat kehidupan dan pengetahuan masyarakat tentang keunggulan ikan. Di bandingkan dengan sumber protein lain. Jadi dalam hal ini peningkatan produksi dan kebutuhan akan ikan semakin tinggi baik di dalam maupun di luar negeri, sehingga hubungan dengan negara-negara lain semakin meningkat.
Lalu bagaimana dengan maraknya kapal-kapal asing yang masuk di kawasan perairan laut indonesia di tambah dengan maraknya pencurian ikan (ilegal fishing) yang di lakukan oleh kapal – kapal asing. Selain itu adanya isu-isu globalisasi perikanan, seperti isu globalisasi produksi,dimana negara-negara krisis faktor produksi yang sama, seperti krisis energi dengan kenaikan harga bahan bakar minyak ( BBM ), disini tergambarkan bahwa bahwa produksi perikanan suatu negara sangat tergantung pada kondisi sumberdaya ikan dan energi global. Isu yang lain adalah di dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di mana setiap negara dituntut untuk tunduk pada aturan – aturan internasional yang berlaku sehingga kita terbatas di dalam melakukan kegiatan ekspor ikan ekonomis seperti ikan tuna. Adanya isu perdagangan dan isu subsidi, jadi dalam hal ini krisis finansial global terjadi dan berdampak langsung terhadap perekonomian perikanan dunia.

2. Tujuan
Adapun tujuan daripada penulisan makalah ini yaitu :
1. Mengetahui pengaruh-pengaruh globalisasi terhadap perkembangan perikanan di Indonesia.
2. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis tentang aspek-aspek yang mempengaruhi perkembangan perikanan yang berkaitan dengan isu-isu globalisasi.


TINJAUAN TEORITIS
1. Pengaruh Globalisasi Terhadap Kehidupan Bangsa Dan Negara
Akibat arus budaya global, isu-isu internasional sekarang ini banyak berpengaruh pada aspek politik. Pengaruh itu, meliputi isu tentang demokrasi, hak asasi manusia dan transparansi. Pada aspek sosial budaya muncul isu tentang perlunya sikap Pluralisme dan kelestarian lingkungan hidup. Dalam bidang ekonomi muncul pasar global (Global Market) dan pesaing global, sedangkan di bidang keamanan muncul isu tentang terorisme.
Beberapa isu internasional yang sering terdengar adaalah sebagai berikut :
a. Isu tentang demokrasi
Paham demokrasi berasaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Oleh karena itu, rakyatlah yang memegang kekuasaan tertinggi negara. Demokrasi sebagai sistem politik harus mengikutsertakan rakyat dalam pengambilan keputusan. Semua negara ingin disebut sebagai negara demokrasi. Negara-negara yang belum berpemerintahan demokrasi atau masih mempraktik pemerintahan otoriter banyak dikecam oleh negara lain.
b. Isu tentang hak asasi manusia
Masalah hak asasi manusia berkaitan erat dengan demokrasi. sekarang ini dunia internasional sangat memperhatikan penegak hak asasi manusia. Adanya berbagai peran, pertentangan, konflik antar bangsa dikarenakan adanya penindasan terhadap hak asasi manusia dan perilaku sewenang-wenang.
c. Isu tentang transparansi
Transparansi atau keterbukaan terutama ditujukkan pada penyelenggara pemerintahan negara. Pemerintah yang tertutup tidak akan lama bertahan sebab kemajuan informasi yang telah mampu menerobos berbagai ketertutupan yang disembunyikan pemerintah. Pemerintah yang tertutup juga dianggap tidak demokratis karena tidak adanya pertanggung jawaban publik dan tidak mengikutsertakan rakyat dalam bernegara. Hal ini bertentangan dengan pesan demokrasi. Penyelenggaraan negara di harapkan berlaku terbuka dan transparan terhadap rakyatnya.

d. Isu tentang pelestarian lingkungan hidup
Lingkungan hidup merupakan isu internasional yang ditujukkan kepada negara-negara. Sekarang ini lingkungan hidup yang rusak dapat menjadi ancaman baru bagi umat manusia. Negara-negara yang memiliki kekayaan alam dan hutan dihimbau untuk serius dalam melestarikan lingkungan hidup.

e. Isu tentang Pluralisme
Dalam masyarakat global, hubungan antar manusia akan semakin intensif dan tidak hanya manusia sebangsa tetapi manusia yang berbeda ras, agama, nilai budaya, bahasa dan adat. Sikap menghargai keanekaragaman dan perbedaan sangat dibutuhkan. Apabila suatu bangsa memaksakan nilai budayanya dan tidak menghargai budaya lainmaka hubungan global akan rusak.
f. Isu tentang pasar global dan pesaing global
Dalam era global, barang, jasa, dan produk dari berbagai negara akan masuk dan saling berkompetensi dengan produk lokal. Arus keluar masuk barang dan jasa tidak lagi di batasi. Di wilayah-wilayah regional di bentuk pasar bersama, misalnya di Asia dengan perberlakuan AFTA 2003.

2. Aspek - Aspek Positif Dan Negatif Globalisasi
Globalisasi merupakan perkembangan yang tidak bisa dihindari dan dicegah. Kemajuan-kemajuan di bidang teknologi komunikasi yang menghasilkan media massa yang canggih mempermudah terjadinya globalisasi. Teknologi informasi dan komunikasi telah menghubungkan manusia seluruh dunia menjadi satu sistem komunikasi. Teknologi telah memperlancar terbentuknya budaya dunia, yakni budaya yang dianut oleh seluruh umat manusia di dunia ini. Budaya tersebut bisa saja berasal dari salah satu bangsa atau ras. Namun, proses globalisasi telah menjadikannya budaya semua orang diperkenalkan secara sistematis dan intensif keseluruh pelosok dunia.
Proses saling mempengaruhi adalah gejala yang wajar dalam interaksi antar masyarakat. melalui interaksi dengan berbagai masyarakat lain, bangsa atau kelompok masyarakat yang menghuni nusantara (Sebelum bangsa Indonesia terbentuk), telah mengalami proses dipengaruhi dan mempengaruhi. Pada hakekatnya, bangsa Indonesia atau bangsa-bangsa lain berkembang karena adanya pengaruh-pengaruh luar. Kemajuan bisa dihasilkan oleh interaksi dengan pihak dari luar. gambaran di atas menunjukkan bahwa pengaruh dunia luar adalah sesuatu yang wajar dan tidak perlu ditakutkan. Pengaruh tersebut selamanya mempunyai dua sisi, yaitu positif dan negatif.
Adanya aspek positif dan negatif globalisasi sangat tergantung pada negara yang menerimanya. Bangsa Indonesia tidak akan mendapatkan segi positif dari globalisasi apabila tidak mampu menyiapkan diri dengan baik. Sebaliknya, kita akan mampu menghindari aspek-aspek negatif dari globalisasi apabila kita juga mampu mempersiapkan diri dengan baik pula.
Adapun aspek positif globalisasi, antara lain sebagai berikut :
1. Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi mempermudah manusia dalam berinterkasi
2. Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi mempercepat manusia untuk berhubungan dengan manusia lain
3. Kemajuan teknologi komunikasi, informasi dan transportasi meningkatkan efisiensi.
Adapun aspek negatif globalisasi antara lain sebagai berikut :
1. Masuknya nilai budaya luar akan menghilangakan nilai-nilai tradisi suatu bangsa dan interaksi dan identitas suatu bangsa.
2. Eksploitasi alam dan sumberdaya lain akan memuncak karena kebutuhan yang semakin besar.
3. Dalam bidang ekonomi, berkembang nilai konsumerisme dan individual yang menggeser nilai-nilai sosial masyarakat.
4. Terjadinya Dehumanisasi, yaitu derajat manusia yang nantinya tidak di hargai karena lebih banyak menggunakan mesin-mesin berteknologi tinggi.
Masyarakat dan bangsa Indonesia perlu mempersiapkan diri agar dapat memenangkan arus globalisasi ini. Tujuannya adalah mendapatkan segi-segi positif dari globalisasi dan mampu menghindarkan diri dari aspek negatif globalisasi. Hal-hal yang perlu dipersiapkan adalah sebagai berikut :
1. Pembangunan kualitas manusia Indonesia melalui pendidikan
2. Pemberian keterampilan hidup (Life Skill) agar mampu menciptakan kreatifitas dan kemandirian
3. Usaha menumbuhkan budaya dan sikap hidup global, seperti mandiri, kreatif, menghargai karya, optimis dan terbuka
4. Usaha selalu menumbuhkan wawasan kebangsaan dan identitas nasional
5. Usaha menciptakan pemerintahan yang transparan dan demokratis
3. Sumber Daya Ikan, Perairan Dan Persaingan Penggunaanya.
Indonesia sebagai negara kepulauan yang beriklim tropis basah memiliki keuntungan komparatif bagi kegiatan penangkapan ikan dilaut dan peairan umum serta budidaya. Kegiatan penangkapan di laut dan perairan umum secara nasional masih di bawah tingkat hasil tangkapan lestari maksimum tetapi terdapat perbedaan intensitas yang sangat beragam menurut wilayah. Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan laut dan perairan umum dewasa ini di bawah Kawasan Barat Indonesia (KBI) telah mencapai atau melampaui tingkat produksi maksimum lestari, karena di masa depan di perlukan pengolahan perikanan (Konservasi dan rehabilitasi) yang rasional. Peningkatan produksi ikan melalui kegiatan penangkapan di laut akan beralih ke kawasan timur indonesia (KTI), perairan laut di dalam, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) indonesia dan laut bebas yang tingkat pemanfaatanya belum optimal. Selain itu untuk penghematan sumber daya perlu di lakukan penanganan dan pengolahan produk yang lebih baik dan pemanfatan hasil sampingan serta pengurangan susut hasil termasuk discard motality.
Peluang peningkatan produksi perikanan melalui penangkapan dari sumberdaya laut di perkirakan masih tetap belum mampu memenuhi kebutuhan yang terus meningkat. Pada tahun 2003 kebutuhan ikan untuk konsumsi domestik dan ekspor di perkirakan akan mencapai 10 juta ton. Dari perikanan tangkap, dengan perkiraan MSY sebesar 6,2 juta ton per tahun, apabila di tetapkan jumlah maksimum yang boleh ditangkap adalah 80 % dari MSY, maka akan di peroleh produksi sekitar 5 juta ton per tahun. Sedangkan bila di tambah dengan potensi produksi perikanan umumnya sebesar 0,4 juta ton per tahun maka total produksi akan di peroleh 5,4 juta ton per tahun. Ini berarti sekitar 4,6 juta ton per tahun harus di penuhi dari aquakultur yang saat ini baru menyumbang 0,7 juta ton per tahun.
Berdasarkan proyeksi tersebut, aquakultur menjadi tumpuan harapan dalam memenuhi kebutuhan ikan domestik dan ekspor di masa depan. Namun pengembangan akuakultur akan berhadapan dengan tantangan ekstentifikasi dan intensifikasi lahan akuakultur yang memeperhatikan kelestarian lingkungan. Laju degradasi lingkungan di berbagai daerah meningkat akibat berbagai kegiatan antropogenik misalnya pencemaran dan erosi. Pencemaran, di samping penangkapan ikan yang tak terkendali di perairan umum, menyebabkan terus menurunya produksi dan terancam punahnya berbagai jenis ikan, pencemaran perairan umum juga ikut memepengaruhi penurunan produktifitas akuakultur.
Meskipun demikian terdapat berbagai peluang peningkatan produksi ikan akuakultur antara lain melalui upaya intensifikasi di jawa, ekstensifikasi di luar jawa, pemanfaatan sumber daya laut di daerah pesisir, lahan marginal dan perairan umum untuk keramba serta terobosan peningkatan produktifitas melalui domestikasi dengan memanfaatkan beranekaragaman plasma nutfah. Untuk mendukung keberlanjutan usaha akuakultur beberapa kebijaksanaan diperlukan seperti tegaknya sistem tata ruang, penciptaan iklim usaha yang kondusif.
Pengguna sumberdaya perairan sangat beragam seperti perindustrian, pertambangan, kehutanan, pariwisata, transportasi, energi dan perikanan. Persaingan yang tajam antar pengguna sumber daya perairan telah membawa dampak yang merugikan bagi perikanan.

4. Permintaan, Penawaran Dan Perdagangan Luar Negeri
Permintaan terhadap produk perikanan di masa depan akan meningkat sebagai konsekuensi pertumbuhan jumlah penduduk, peningkatan daya beli dan kecenderungan perubahan pola konsumsi dari produk peternakan ke produk perikanan.
Kesenjangan antara permintaan dan penawaran yang mendorong peningkatan harga produk perikanan dapat merangsang dunia usaha untuk menanamkan modalnya dalam usaha perikanan terutama yang berorientasi ekspor. Kecenderungan relokasi industri perikanan dari negara maju ke negara berkembang, terutama negara kita yang memiliki sumber daya perikanan yang belum dimanfaatkan secara optimal bila di bandingkan dengan negara – negara lain, dan keunggulan komparatif biaya produksi.
Pada tahun 2003 devisa negara yang di peroleh dari ekspor produk perikanan di upayakan mencapai 10 milyar USD. Bagian terbesar dari komoditas ekspor tersebut berasal dari akuakultur komoditas ikan bernilai ekonomis tinggi seperti udang, berbagai ikan karang, dan ikan hias. Untuk mendukung realisasi ekspor tersebut perlu di benahi strategi pemasaran dan distribusi agar dapat bersaing dalam era globalisasi perdagangan.
Permintaan produk perikanan di dalam negeri juga meningkat dan di perkirakan pada tahun depan konsumsikan mendekati atau mencapai tingkat konsumsi ideal sebesar 20,7 Kg/kapita/tahun, yang berarti akan di butuhkan sedikitnya sekitar 5 juta ton per tahun. Dewasa ini tingkat konsumsi ikan di indonesia sangat beragam. Beberapa daerah telah melampaui target ideal, namun banyak daerah yang masih jauh di bawahnya. Selain diperlukan perbaikan sistem distribusi dan pemasaran, juga di perlukan pengembangan kegiatan budidaya ikan terutama jenis ikan yang dapat di jangkau daya beli masyarakat sesuai dengan preferensi di masing-masing wilayah.

5. Komoditas / Produk Perikanan Indonesia
Sumberdaya ikan indonesia memiliki keanekaragaman jenis baik sebagai ikan konsumsi maupun ikan hias dengan nilai ekonomis yang beragam pula. Selama ini beberapa jenis ikan ekonomis tinggi seperti udang, tuna, cakalang, tuna dan ikan – ikan karang seperti kakap, kerapu dan baronang menjadi komoditas utama untuk ekspor. Di masa depan akan lebih banyak lagi jenis ikan yang di ekspor dengan makin berkembangnya pasar dunia.
Ekspor komoditas perikanan mengalami beberapa pergeseran dalam bentuk olahan dan penyajian sesuai dengan perubahan sosial ekonomi negara-negara pengimpor. Perubahan selera dan gaya hidup konsumen memberikan nilai tambah yang sangat tinggi seperti ikan hidup dan produk olahan yang termasuk siap saji (ready to serve) dan siap di konsumsi. Dalam hal ini, inovasi teknologi yang perlu mendapat prioritas dalam rangka memanfaatkan yang cenderung makin berkembang.
Selama ini daya saing komoditas perikanan indonesia di pasar dunia termasuk masih rendah, karena aspek quality, cost, and delivery ( QCD ) belum di perhatikan, sementara negara – negara makin ketat menerapkan persyaratan mutu. Implementasi konsep HACCP ( Hazard Analysis And Critical Control Points ) dan manajemen mutu mutlak di perlukan oleh setiap industri perikanan untuk memenuhi tuntutan pasar. Hal ini perlu di dukung oleh penelitian dalam mengidentifikasi titik – titik kritis dari rantai produksi.
Jaminan mutu termasuk aspek kebersihan, kesehatan dan gizi tidak hanya di tuntut sebagai konsumen di negara importir tetapi juga oleh konsumen domestik yang makin meningkat kesadaranya. Perlindungan keamanan pangan makin penting terutama dengan di terbitkannya Undang – Undang Pangan 1996. Adanya tuntutan konsumen dan implikasi pemberlakuan undang – undang tersebut menuntut perbaikan sistem produksi.
Produk perikanan selain menghasilkan berbagai produk olahan pangan juga menghasilkan berbagai produk nonpangan sebagai bahan bagi industri farmasi, kosmetik, pakan dan industri lainya. salah satu produk yang perlu di kembangkan adalah senyawa – senyawa alami yang terdapat dalam produk perikanan yang potensial untuk industri ( Biorospcting ) karena mempunyai nilai tambah sangat tinggi.

PEMBAHASAN
1. Dampak Globalisasi Bagi Produksi Perikanan.
Tahun 2008 fenomena globalisasi perikanan mengemuka. Berlakunya EPA 1 juli 2008 lalu membuat bea 51 produk perikanan kita ke jepang menjadi nol. Ini semula pertanda globalisasi semakin menguat. Namun globalisasi perikanan juga bermasalah. Pertemuan World Trade Organization (WTO) di Jenewa yang gagal juga terkait dengan perikanan. Begitu pula krisis finansial global memporak-porandakan perdagangan perikanan. Pertanyaanya : bagaimana globalisasi perikanan terhadap Indonesia? Globalisasi perikanan minimalnya mempunyai tiga isu.
Isu pertama adalah globalisasi produksi. Saat ini total produksi perikanan dunia mencapai 145 juta ton, yang masih di dominasi perikanan tangkap (64%), dan budidaya (36%). Sumbangan Negara sedang berkembang (NSB) terhadap total produksi dunia mencapai 80% dan terhadap produksi budidya mencapai lebih dari 90%. Bayangkan konstribusi Cina sendiri sudah mencapai 67%. Isu produk menjadi isu global taktala semua negara kini merasakan factor krisis produk yang sama, seperti krisis energi. Harga BBM yang mencapai lebih dari 140 USD/barel tentu memukul usaha perikanan tangkap. Di prediksi bahwa perikanan dunia telah mengosumsi 50 milyar liter bahan bakar atau 1,2% konsumsi dunia menghasilkan 80 juta ton ikan. Jadi, untuk menangkap 1 ekor ikan butuh 0,62 liter BBM. Rasio ikan/liter bahan bakar ini tentu lebih tinggi dari produksi protein hewani lainnya. Di Amerika Serikat telah di hitung bahwa kapal trawl butuh 1 liter BBM/kilogram ikan, sementara gillnet sepertiga liter/kilogram dan purse seine 0,03 liter/kilogram. Dengan sendirinya trawl di prediksi di mana – mana akan semakin menurun. Di Vietnam , pangsa BBM terhadap biaya operasi penangkapan mencapai 52% ( trawl ), 40 % (long line) , 20% (purse seine). Di Indonesia juga kurang lebih sama. Karena itu ke depan budidaya akan terus di dorong dan dapat melebihi tangkap, seperti sudah ditunjukan cina dan Vietnam. Namun di perkirakan tahun 2030 di dunia pun hasil penangkap masih lebih besar (93 juta ton) dan budidaya (83 juta ton). Budidaya menjadi jalan keluar karena semua orang sadar bahwa kini 76 % perikanan di dunia sudah di eksploitasi penuh bahkan lebih. Disini tergambarkan bahwa betapa produksi perikana suatu negara sudah sangat tergantung kondisi sumberdaya ikan dan energi global. Bencana produksi di alami baik negara sedang berkembang (NSB) dan negara miskin (NM), akibat globalisasi energi di mana BBM menjadi mainan para spekulan internasional. Yang membedakan adalah adaptasinya terhadap faktor eksternal tersebut, yang tentu perikanan NSB lebih lambat dan menyiasati dan akhirnya kolaps.
Krisis finansial global makin menyengsarakan sektor produksi. Hampir bisa di duga bahwa investasi sektor perikanan akan menurun. Paling tidak di lihat dari naiknya suku bunga perbankan yang tidak kondusif untuk investasi. Bagi investasi yang menuntut bahan baku impor juga akan terkendali dengan naiknya kurs rupiah yang akhir tahun ini bervariasi Rp.11-13 ribu. Kondisi ini mestinya menuntut kita untuk mengembangkan industry perikanan dengan bahan baku lokal dan mendorong tumbuhnya industry pakan.

2. Dampak Globalisasi Bagi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan.
Selain hal di atas globalisasi juga mempengaruhi pengelolaan sumberdaya perikanan. Baik negara sedang berkembang maupun negara miskin di tuntut untuk tunduk pada aturan – aturan internasional tentang bagaimana mengelola sumber daya supaya lestari, kalau tidak mau di tuduh melakukan IUU (Ilegal unregulated, andUnreported) fishing, termasuk di dalamnya pencurian ikan dan tangkapan yang tidak di laporkan. Nilai IUU Fishing di dunia kini nilaimya mencapai 15 milyar USD. FAO mencatat sekitar 30 % hasil tangkapan ikan – ikan tertentu di dunia tergolong IUU Fishing. Di Afrika bisa mencapai 50 %. Di Uni Eropa (UE), IUU masih berlangsung karena bias menghemat 20 % produksi daripada praktek yang legal. Saat ini Uni Eropa yang paling bergencar membasmi karena ternyata 95 produk impor Uni Eropa berasal dari IUU Fishing. Karena itu Uni Eropa menerapkan UE Catch Certification Scheme yang akan mengontrol produk – produk ikan yang masuk ke pasar Uni Eropa.
Bagi Indonesia adanya gerakan anti IUU Fishing bisa menjadi berkah dan bencana. Berkahnya adalah karena laut kita adalah obyek pencurian ikan dari kapal – kapal asing yang beroperasi di perairan laut kita, belum ada angka resmi kerugian kita, tapi tahun 2004 kerugian kita mencapai 4-5 trilyun/tahun sekitar 1000 kapal yang di kategorikan IUU Fishing ada sehingga kerugian mencapai 1 – 4 triliun. Lalu bagaimana dengan bencananya? Kini kita tidak bisa menangkap ikan di laut internasional secara bebas. Kita harus menjadi anggota RFMO ( Regional Fisheries Management Organization ), atau Komisi Pengelolaan Perikanan Regional, kalau kita hendak menangkap ikan di wilayah tersebut, seperti untuk menangkap ikan tuna di samudera hindia kita harus menjadi anggota IOTC (Indian Tuna Comission), juga CCSBT (Convestion Of Conservation for Souther Bluefin Tuna), dan di pasifik kita harus menjadi anggota WCPFC (Western Central Pacific Fisheries Commite), kalau kita tidak menjadi anggota dari organisasi – organsasi tersebut maka akan di anggap illegal dan produk kita akan di embargo di pasar internasional.
Embargo untuk tuna sirip kita masih berlaku di Jepang sejak tahun 2005 karena kita tidak menjadi anggota CCSBT. Padahal, spawning ground tuna tersebut ada di wilayah selatan Indonesia, yyang mestinya kita berhak atas tuna tersebut. Jepang tidak punya akses langsung ke perairan CCSBT (Convestion of Conservation for Souther Bluefin Tuna) maupun IOTC (Indian Tuna Commision) ternyata dominan, begitu pula Uni Eropa yang tidak punya akses langsung ke perairan WCPFC (Western Central Pacifik Fisheries Commite) yang kuat. Namun kini kita sudah mencapai anggota kedua RFMO (Regional Fisheries Management Organization) tersebut, ini menunjukan bahwa pengelolaan perikanan di dunia adalah masalah politik internasional dan tidak hanya masalah teknis. Dan disinilah negara sedang berkembang (NSB) menjadi korban.


3. Dampak Globalisasi Bagi Ekonomi Perikanan.
Pada tahun 2007, ekspor produk perikanan dunia mencapai 93 milyar USD dan tumbuh sekitar 9 % dan kontribusi negara sedang berkembang (NSB) dan negara miskin (NM) sama, yakni 50-50. Negara sedang berkembang menikmati penerimaan bersih sekitar 25 milyar USD dari ekspornya. Pasar dunia terbesar Uni Eropa (42,3%), Jepang (15,6%), dan Amerika Serikat (15,6%), yang totalnya mencapai 73 %. Perdagangan di prediksi terus meningkat seiring tren peningkatan konsumsi ikan/kapita, yang dalam kurung waktu 30 tahun meningkat dari 11,5 kilogram/kapita/tahun menjadi 17 kilogram/kapita/tahun. Namun kita saat ini sudah ketinggalan dari Thailand dan Vietnam. Ekspor Thailand sudah lebih dari 4 milyar USD, Vietnam 3,7 milyar USD (2007) dan kita baru sekitar 2,5 milyar USD. Kini Uni Eropa, Jepang dan Amerika Serikat sama-sama menerapkan syarat yang makin ketat, karena terkait dengan keamanan pangan (Food Safety).
Apakah perdagangan bebas menguntungkan? Pertama, memang negara sedang berkembang punya kesempatan meraih keuntungan dari pasar negara miskin) yang makin terbuka. Namun persoalanya bukan relasi antara negara sedang berkembang dengan negara miskin , tetapi lebih pada antara negara – negara sedang berkembang. Bayangkan bila perdagangan bebas terjadi di ASEAN saja, maka sudah di duga pembudidaya ikan patin dan lele akan kolaps karena produk Vietnam yang lebih bersaing. Kedua, keuntungan ekspor negara sedang berkembang hanya akan di nikmati para eksportir dan pengusaha besar. Nelayan dan pembudidaya ikan kecil sebagai pemasok bahan baku hanya akan menikmati harga lokal. Apakah dengan bea masuk nol persen ke Jepang saat ini nelayan dan pembudidaya ikan juga menikmati kelebihan profit? World Fish (2008) menunjukan bahwa di Afrika perdagangan perikanan tidak berhubungan dengan pembangunan ekonomi dan manusia.
Kini krisis finansial global telah terjadi dan berdampak langsung pada perdagangan perikanan dunia. Lesunya pasar ekspor di Amerika Serikat dan Eropa tersebut akan menjadikan negara berpenduduk besar menjadi sasaran baru ekspor perikanan. Karena itulah perlu di antisipasi fenomena ini melalui instrument pengendalian impor, seperti peningkatan mutu uji produk, pembatasan pelabuhan masuknya produk impor dan dalam beberapa kasus perlu pengenaan tarif. Diversifikasi pasar juga sangat penting.
Sementara itu isu subsidi juga mengancam. Menurut APEC (2000) nilai subsidi perikanan di dunia mencapai 12,6 milyar USD dan mencakup 70% negara – negara produsen perikanan. Sementara Milazzo (1998) memprediksi sekitar 20,5 milyar USD untuk seluruh perikanan dunia. Dan OECD (2003) serta World Trade Organization (WTO) menghitung masing-masing hanya sekitar 5,97 dan 0,82 milyar USD. Ini di anggap membahayakan perdagangan bebas dan menyebabkan overeksploitasi. Namun, Marine Resources Assesment Group (MRAG) pada tahun 2000 mengingatkan bahwa masalah over eksploitasi sumberdaya ikan di negara sedang berkembang ini bukan karena subsidi, tetapi karena lemahnya pengelolaan sumber daya perikanan. Hal yang sama juga sesuai dengan hasil riset beberapa ilmuwan di Jepang di World Fisheries Congres lalu yang melihat bahwa subsidi tidak berkolerasi dengan kerusakan sumber daya. Melihat besarnya masalah kemiskinan nelayan, maka subsidi secara langsung, seperti sistem kredit khusus bagi nelayan, tentu masih relevan. Hanya saja, memang subsidi tersebut mesti di sertai dengan skema fisheries management yang memadai.
Untuk itu, globalisasi perikanan harus di sikapi secara komprehensif dan kritis. Tanpa itu, kita akan terus menjadi korban.